APBD untuk Siapa?

Share

Screenshot

Oleh: Tony Suprayugo

DI Berau, proyek pengaspalan jalan menuju kawasan Mangun–Mangurai kembali menjadi perbincangan hangat. Bukan semata soal nilainya—dimulai dari paket Rp22,1 miliar dalam LPSE dan wacana total anggaran mencapai Rp60 miliar—melainkan soal pertanyaan mendasar: siapa yang sebenarnya menerima manfaat dari kebijakan ini?

Pertanyaan ini bukan sekadar kritik. Ia adalah pengingat bahwa APBD bukan dokumen teknis, melainkan kontrak moral antara pemerintah dan rakyat, kontrak yang mewajibkan setiap rupiah kembali sebanyak-banyaknya kepada masyarakat yang membiayainya.

Pembangunan yang Berpihak atau Berpindah?

Kawasan Mangun–Mangurai bukan wilayah baru dalam ingatan publik. Beberapa tahun lalu, lokasi tersebut dipindahkan karena akan ditambang. Saat itu, masyarakat mendengar janji: perusahaan akan ikut membangun fasilitas dan infrastruktur penunjang di kawasan relokasi itu.

Namun kini, publik menyaksikan situasi berbeda.

Jalan yang mestinya menjadi bagian dari komitmen perusahaan justru dibebankan ke APBD. Pemerintah akhirnya menanggung kewajiban yang bukan miliknya.

Ini pola klasik pembangunan: ketika aktor privat kuat berhasil mengalihkan beban biaya ke negara, sementara keuntungan ekonominya tetap mereka nikmati.

Maka wajar bila publik bertanya:

apakah pembangunan ini berpihak kepada rakyat, atau justru bergeser melayani kepentingan lain?

Hulu yang Terlupakan: Realita yang Tak Bisa Dibantah

Mari kita bandingkan.

Di pedalaman—Segah, Kelay, Talisayan bagian hulu, dan kampung-kampung lain—puluhan desa masih berjuang dengan masalah paling dasar: jalan rusak, akses terputus, dan minim prioritas anggaran.

Di sana:

Harga bahan pokok bisa dua sampai tiga kali lipat karena logistik sulit.

Anak sekolah harus menempuh rute berbahaya.

Warga sakit sering terlambat mendapat pertolongan.

Banyak kampung yang menjadi sumber kekayaan daerah justru menerima paling sedikit manfaat pembangunan.

Ini ironi besar.

Dan ketika muncul anggaran puluhan miliar rupiah tetapi diarahkan ke wilayah yang tidak mendesak, publik merasa bahwa logika keadilan telah bergeser.

SROI: Menghitung Manfaat Sosial dari Setiap Rupiah

Dalam kebijakan publik, ada alat sederhana namun penting bernama Social Return on Investment (SROI). Intinya bertanya:

“Setiap Rp1 yang dibelanjakan APBD, menghasilkan berapa nilai sosial bagi masyarakat?”

Jika dianalisis secara sederhana:

1. Rp60 miliar dialokasikan untuk membuka akses 20 kampung hulu:

Peningkatan pendapatan rumah tangga.

Penurunan biaya logistik.

Akses pendidikan & kesehatan meningkat drastis.

Nilai sosial kembali ke masyarakat secara luas dan berjangka panjang.

2. Rp60 miliar diarahkan untuk akses Mangun–Mangurai:

Manfaat lebih terpusat pada aktor tertentu.

Dampak sosial bagi masyarakat umum jauh lebih kecil.

Ini bukan teori rumit.

Ini logika dasar: pembangunan di hulu menguntungkan banyak orang; pembangunan yang memfasilitasi korporasi hanya menguntungkan sedikit pihak.

APBD Bukan Subsidi Terselubung

Publik bukan anti pembangunan.

Yang publik minta hanyalah satu: pembangunan yang adil dan tepat sasaran.

Ketika APBD dipakai untuk membiayai fasilitas yang seharusnya menjadi kewajiban perusahaan, maka pemerintah bukan sedang membangun—melainkan menyubsidi kepentingan privat tanpa menyebutnya sebagai subsidi.

Dan ketika yang dikorbankan adalah kampung-kampung yang puluhan tahun menunggu jalan layak, persoalannya bukan teknis lagi.

Ini soal keadilan, keberpihakan, dan integritas pemerintah dalam menegakkan komitmen.

Tiga Keberanian yang Diperlukan Berau

Agar pembangunan tidak kehilangan arah, ada tiga langkah penting:

1. Audit Terbuka terhadap Komitmen Perusahaan

Jika ada janji atau kesepakatan perusahaan terkait pembangunan fasilitas, maka harus ditegakkan. Tidak boleh ada pengalihan tanggung jawab ke APBD.

2. Prioritas Berbasis Manfaat Sosial

Jika puluhan miliar hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara desa-desa hulu tetap terisolasi, maka arah prioritas wajib dikoreksi.

3. Transparansi Anggaran dan Social Audit

LPSE harus dibuka seluas-luasnya, kontrak pekerjaan dipublikasikan, dan masyarakat perlu dilibatkan dalam pemantauan.

Ini bukan utopia.

Ini standar minimal tata kelola modern.

Agar Pembangunan Tidak Melenceng dari Tujuan

Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang membuat rakyat merasa diperhatikan dan diutamakan. Bukan pembangunan yang menimbulkan tanya:

“Untuk siapa sebenarnya jalan ini dibangun?”

Berau memiliki kapasitas dan potensi menjadi kabupaten paling progresif di Kalimantan Timur. Namun kemajuan itu hanya mungkin bila arah pembangunan dikembalikan pada tujuannya:

Untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.

Bukan untuk melicinkan kepentingan segelintir pihak.(*/Ketua HIPMI Berau)

TAG:

Share

TRENDING

Berita Populer

Berita Lainnya

PT. Media Kaltimtara Times. Media siber yang berbasis di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kekinian, informatif, dan inspiratif.

Copyright © 2024. Kata Times