BEGITU banyak pertanyaan dan perdebatan tentang aktivitas penambangan pasir di Kabupaten Berau. Berizin atau tidak berizin. Pun saya bingung menjelaskan. Walaupun itu sudah menjadi rahasia umum. Tidak satupun dari mereka yang mengantongi izin. Alias ilegal.
Potensi hasil tambang pasir sepanjang sungai di Bumi Batiwakkal –julukan Kabupaten Berau-, cukup dilirik oleh pengusaha pasir. Namun pemerintah tidak melakukan tindakan. Tindakan tegas aktivitas tambang ilegal. Seperti menertibkan agar pengusaha mengantongi izin.
Kegiatan pertambangan pasir di Kabupaten Berau tidak lepas dari peliknya permasalahan. Antara keberlangsungan pembangunan dan penegakan hukum.
Alasannya pasir sangat dibutuhkan. Bahan utama material untuk kontruksi. Bisa dibayangkan membangun tanpa pasir seperti apa. Apakah bangunan bisa kokoh berdiri? Tentu tidak. Sementara, aktivitasnya tidak berizin. Itu dilemanya. Ditindak salah, enggak ditindak salah juga. Kalau dari perspektif hukum, tentu harus ditindak.
Kita kilas balik tahun 2021. Aktivitas penambangan pasir ilegal sempat disetopkan. Diberhentikan paksa karena ilegal. Penindakan itu justru menimbulkan polemik. Pembangunan terseok-seok. Sementara, pemerintah dikejar deadline untuk memaksimalkan penyerapan anggaran. Namun apa daya, pembangunan jalan di tempat akibat pasir.
Pemenang tender atau proyek, putar kepala. Mereka berpikir keras. Bagaimana caranya pekerjaan jalan dan selesai sesuai kontrak. Akhirnya, memutuskan untuk mendatangkan pasir dari provinsi tetangga. Kalimantan Utara. Meski menguras kantung lebih dalam.
Tetapi rencana itu tidak berjalan lancar. Proses pembangunan jalan kura-kura. Lambat. Stok pasir di Kalimantan Utara juga terbatas. Tidak mampu memenuhi kebutuhan material kontruksi di Kabupaten Berau.
Akhirnya, pemerintah menggelar pertemuan dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) untuk mencari solusi. Waktu itu, Agus Tantomo sebagai bupati Berau. Kalau tidak salah pertemuan pada 19 Januari 2021. Karena saat itu, stok pasir benar-benar kosong.
Agus Tantomo, “Dampaknya ini panjang sebab kalau pasir kosong maka seperti semen, besi itu tidak ada gunanya sehingga kegiatan pembangunan terhambat. Ini yang jadi masalah kita saat ini”.
Masalah izin memang menjadi dilema. Sebelumnya perizinan dikeluarkan pemerintah provinsi. Namun Skema perizinan berubah sejak Januari, perizinan diambilalih dan dikeluarkan pemerintah pusat.
Hanya saja, masalahnya Peraturan Pemerintah (PP) belum keluar saat itu. Jadi, syarat izin selengkap apapun yang diajukan penambang tidak bisa diproses sebab PP belum ada karena ada kekosongan hukum. Itu disampaikan Agus Tantomo dalam pertemuan.
Jadi diberikan “Dispensasi Hukum”. Penambang pasir diberikan kelonggaran untuk beraktivitas melalui Surat Edaran bernomor: 180/32/HK/2021 agar roda pembangunan tidak mandek akibat kekurangan bahan baku material sembari para pengusaha galian C mengurus perizinan. Kebijakan yang bersifat sementara. Dan dilanjutkan oleh pemimpin selanjutnya. Sri Juniarsih dan Gamalis.
Diskresi itu jadi buah simalakama. Seolah-olah pemerintah melegalkan yang ilegal. Kebijakan itu selalu jadi rujukan pengusaha pasir menambang sungai. Izin penambangan dibelakangkan.
Sampai tahun 2025, tepatnya empat tahun yang lalu, tak satupun penambang memiliki izin. Dalih mereka bermacam-macam. Saya sempatnya bertanya kepada beberapa pengusaha penambangan pasir sungai. Salah seorang namanya Rani.
Saya berkomunikasi melalui pesang singkat.WhatsApps Masangger. Ia mengaku memang tidak memiliki izin. Persoalan sama dengan penambang lainnya. Beralasan tidak bisa mengurus izin karena alur sungai masuk konsesi PT Berau Coal. Perusahaan pertambangan batu bara.
“Para penambang pasir di Berau sepertinya tidak mempunyai izin. Kami punya kendala yang sama,” ucapnya dalam percakapan kami.
Serupa dengan Ahmad. Dia juga pengusaha tambang pasir seperti Rani. Tidak punya izin. Alasanya tidak bisa perpanjang perizinan ke pemerintah provinsi. Padahal perizinan sudah beralih. Saya tidak tahu, dia benar-benar tidak tahu atau hanya alibi saja.
Bahkan, dirinya tidak tahu soal deskresi bupati. Sedikit aneh dalam pemikiran saya. Dan bertanya-tanya, selama ini dia berani beroperasi tanpa izin apadasarnya. Hanya Dia dan tuhan yang tahu. Itu isi kepala saya.
“Tidak pernah bupati Sri Juniasih menyuruh atau melarang yang saya ketahui,” ucapnya.
“Surat edaran baru kah,” timpalnya.
Malah bertanya balik. Apakah semua penambang pasir saya hubungi. Entah apa maksudnya bertanya. Saya positive thingking saja dia betul-betul tidak tahu. Saya menyampaikan apa yang saya tahu.
Aktivitas penambang galian C pasir ilegal sudah jadi rahasia umum, namun penegakan hukumnya belum maksimal. Saya juga tidak mau berspekulasi ada oknum aparat bermain. Meski sering kali terlontar dari mulut pekerja pasir menyebutkan hal itu.
“Kami jalan setor ke aparat,” ucapnya.
“Kalau enggak gitu mana bisa jalan,” sambungnya dengan nada kesal.
Pun saya tidak sempat menanyakan namanya. Karena nada mereka emosi. Lebih aman kalau saya bergi. Sudah terlihat sejak saya memarkirkan kendaraan saya. Mereka melirik dengan waswas. Mungkin dalam hati mereka mempertanyakan siapa saya.
Tapi kenapa mereka tidak mau mengurus izin? Kenapa tidak dari dulu-dulu?. Sudah terlalu nyaman. Atau memang mengurus izin ribet. Padahal dengan omzet yang mereka dapatkan, ratusan juta hingga miliaran mengurus izin tidak terlalu sulit. Hanya membutuhkan proses cukup panjang agar usaha mereka legal.
Atau mungkin benar kata orang: Justru ketika orang marasa nyaman maka mereka berani bertahan. Melanggengkan binsis tanpa memikir izin.
Terlepas dari itu, pemerintah pun harusnya bersikap tegas. Meski ada kelonggaran diberikan. Bukan dimanja. Para pengusaha diberi deadline untuk mengurus izin. Atau pemerintah mendirikan BUMD sebagai rumah mereka. Dengan menertibkan juga, mereka juga memiliki subangsih terhadap pembangunan di daerah.
Bagaimana dengan Anda menyikapi pertambangan pasir ilegal?. (*/jurnalis)