POLITISASI identitas cenderung memiliki konotasi yang negatif atau buruk. Sebab, ia berupaya meraih dukungan suara rakyat dengan cara meciptakan permusuhan antara satu atau beberapa kelompok (suku, agama, ras, antargolongan) dengan kelompok lainnya.
Politisasi identitas ini tampak nyata terlihat pada perhelatan Pilgub DKI tahun 2017 dan Pilpres 2019 silam. Kehadirannya dalam dalam Pilpres/Pilgub tersebut, telah menarik sejumlah kepentingan (politik) ke dalam perdebatan yang penuh dengan kemarahan dan saling menyudutkan. Bahkan sampai menguat dalam bentuk cacian dan umpatan seperti Kadrun Vs Cebong.
Pertanyaan kini, apakah klaim-klaim identitas semacam itu akan digaungkan kembali dalam helatan pemilu yang akan datang ? Bisa jadi iya. Namun, belajar dari pengalaman sebelumnya, semua pihak tentu diharapkan agar sebisa mungkin menahan diri untuk tidak lagi memperalat identitas demi kepentingan politik tertentu.
Bahaya Memperalat Identitas
Identitas sebagai “sesuatu yang wajar” atau “berbahaya” bilamana ditautkan dengan politik, sudah menjadi bahan diskusi di beberapa kalangan, belakangan ini. Ada yang berpendapat bahwa politik identitas bertentangan dengan nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Sedangkan yang lain merasa bahwa isu identitas dalam politik merupakan hal yang wajar. Perbedaan ini boleh jadi karena masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda.
Masyarakat Indonesia memang berasal dari berbagai suku, budaya, dan agama. Karena itu, perbedaan identitas sejatinya menjadi komponen dasar bagi persatuan. Lebih dari itu, identitas sendiri boleh saja diklaim sebagai suatu dasar bagi sebuah bangunan kepentingan (politik).
Namun, politik itu sendiri dalam prakteknya, cenderung dimaknai sekadar cara meraih kekuasaan. Akibatnya segala cara coba dilakukan supaya bisa meraih kemenangan politik. Sudut pandang yang keliru ini kemudian memperalat identitas yang beragam itu, yang pada gilirannya -jika tidak dicegah, dapat merusak sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa.
Sejarah bangsa sudah mengajarkan banyak hal mengenai permasalahan seperti ini. Sebagai contoh, konflik kepentingan (partai) politik pada periode tahun 1950 hingga 1965/1966 yang akhirnya berujung pada “peristiwa berdarah” (G30S/Gestok), masih terasa dampaknya hingga kini. Konflik pada periode itu bisa dikatakan sebagai buah dari politisasi identitas, walaupun cenderung dikaitkan dengan perbedaan ideologi yang diwakili partai-partai pada masa itu.
Politisasi identitas memang sangat berbahaya. Dalam praktiknya dilakukan dengan cara memperalat satu atau beberapa identitas tertentu, kemudian secara terang-terangan dibenturkan/membenturkan diri dengan identitas-identitas yang lain. Akibatnya terjadi sejumlah “aksi-reaksi” yang pada gilirannya bisa menimbulkan “kerusuhan sosial” di tengah masyarakat. Bahkan dalam beberapa momentum cenderung memancing keributan dan mengganggu ketertiban sosial.
Politisasi Identitas Dilarang dalam Pemilu
Pemilu (pilpres, pilkada) harusnya menjadi “ajang evaluasi dan seleksi bagi rakyat” terhadap wakil-wakilnya, baik di legislatif maupun eksekutif. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) sudah mengarisbawahi tujuan penyelenggaraan pemilu tersebut. Di antaranya untuk memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis (Pasal 4 huruf a).
Tujuan ini tentu dapat dicapai, hanya apabila dinamika pemilu itu sendiri dapat dikondisikan sebagai proses dimana rakyat secara prosedural mendelegasikan kekuasaannya kepada wakil-wakil pilihannya. Sebaliknya tidak akan tercapai kalau prosesnya dirusak oleh berbagai isu primordial.
UU 7/2017 sendiri sudah mengatur larangan menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain (Pasal 280 ayat 1 huru c). Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum (PKPU 23/2018), Pasal 20 huruf (f), juga mengatur bahwa materi kampanye harus menghormati perbedaan suku, agama, ras, dan golongan.
Pasal 69 Ayat (1) aturan ini juga mengatur agar Pelaksana, Peserta, dan Tim Kampanye Pemilu dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain (huruf c).
Pelanggaran terhadap larangan tersebut merupakan suatu tindak pidana dan dikenai sanksi yang diatur dalam Undang-undang mengenai Pemilu (Pasal 76 ayat 1). Sanksi atas pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 285 UU 7/2017 yaitu berupa pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap, maupun pembatalan sebagai calon terpilih.
Tidak hanya itu, masih ada sanksi pidana yang menanti bilamana ada pihak yang terbukti melanggar larangan tersebut. Misalnya diatur dalam Pasal 156 KUHP, yang menyatakan: “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Mencegah Politisasi Identitas
Diakui atau tidak isu identitas dalam Pilpres dan Pilgub DKI silam telah mengakibatkan polarisasi hingga ke level masyarakat awam. Terbentuknya relawan-relawan yang diorganisir oleh kalangan yang memiliki ambisi terhadap kekuasaan membuka ruang bagi “tawuran” di ruang-ruang sosial (media).
Kalau diperhatikan, media sosial beberapa tahun terakhir ini banyak dipenuhi oleh “ujaran kebencian” dan “permusuhan” di antara sesama anak bangsa, hanya karena terpengaruh urusan dukung-mendukung pihak-pihak tertentu. Suasana seperti itu masih terasa sampai saat ini.
Supaya hal serupa tidak terulang kembali, dibutuhkan upaya pencegahan menjelang perhelatan Pemilu 2024 nanti. Beberapa upaya pencegahan yang bisa dilakukan, yaitu: pertama, sosialisasi tentang bahaya politisasi identitas bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Sosialisasi ini memang harus terus dilakukan. Kedua, sosialisasi dan publikasi aturan-aturan Pemilu, khususnya terkait larangan dan sanksi bagi siapa saja yang memperalat identitas (agama, suku, ras, golongan).
Ketiga, konsentrasi pengawasan pemilu sehubungan dengan isu identitas perlu ditingkatkan. Bila perlu diambil tindakan konkrit jika terdapat pihak yang masih menggunakan isu identitas dalam kampanye, misalanya dengan memberikan teguran dan peringatan keras, baik secara lisan maupun lewat surat.
Keempat, konsisten dalam menegakan hukum. Harus ada tindakan hukum yang tegas dan konkret bilamana terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan pemilu.
Dalam hal ini mengenai larangan penggunaan cara-cara politik yang tidak menghormati dan menghina pihak lainnya hanya karena perbedaan agama, suku, ras, dan golongan. Upaya ini paling efektif untuk membatasi perilaku masyarakat dan mencegah agar kasus serupa tidak terjadi lagi.
Beberapa upaya di atas tidak lain ialah untuk menjaga agar Pemilu 2024 nanti bisa diselenggarakan dalam suasana yang baik. Kondisinya benar-benar disediakan menjadi ruang dimana rakyat melakukan seleksi terhadap wakil-wakilnya, baik legislatif maupun eksekutif. Kalau kondisinya sudah seperti ini, maka tujuan penyelenggaraan pemilu dalam rangka memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis sangat mungkin bisa terwujud. (*/Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan Tanjung Redeb)