BERAU, KATA TIMES – Dampak Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 tahun 2025, menjadi atensi wakil rakyat di Bumi Batiwakkal, -julukan Kabupaten Berau. Regulasi itu secara tidak langsung “menggusur” masyarakat yang telah lama mengelola lahan perkebunan di area yang terindentifikasi berada dalam kawasan hutan negara.
Ketua Komisi II DPRD Berau, Rudi P Mangunsong menilai meski kebijakan secara normatif ditujukan untuk menata ulang tata kelola kawasan hutan negara, pada praktiknya menimbulkan potensi kerentanan sosial. Karena sebagian besar masyarakat yang terdampak mengelola lahan secara turun-temurun dan dalam banyak kasus tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang status hukum kawasan yang mereka kelola selama ini.
“Bagaimanapun, pelaksanaan perpres harus melihat kenyataan di lapangan. Banyak masyarakat yang secara administratif jujur, tapi tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka kelola ternyata masuk kawasan hutan atau masih berstatus APL,” ujarnya.
Penertiban kawasan hutan memang menjadi bagian dari agenda nasional. Namun Radi mengingatkan, bahwa pelaksanaan kebijakan akan berdampak langsung terhadap ekonomi masyarakat lokal apabila tidak diikuti dengan kebijakan lanjutan yang proporsional dan berkeadilan.
“Kita tidak bisa membiarkan masyarakat tiba-tiba kehilangan penghidupannya. Apakah itu kebun sawit, kakao, atau bentuk pertanian lainnya. Harus ada peran aktif dari pemerintah daerah,” tegasnya.
Politisi PDIP ini menegaskan, situasi ini tidak bisa dibiarkan berkembang tanpa intervensi konkret dari pemerintah daerah. Karena itu, pihaknya mendesak langkah awal berupa inventarisasi menyeluruh terhadap wilayah yang masuk dalam skema PKH.
Pendataan tersebut harus mencakup lokasi, bentuk pemanfaatan, hingga aktivitas sosial-ekonomi masyarakat yang telah berlangsung di kawasan sesuai Perpres Nomor 5 tahun 2025.
“Pemerintah daerah perlu membentuk tim menginventarisasi kawasan yang terkena penertiban. Kita harus tahu persis di mana saja lokasinya, dan apa saja aktivitas masyarakat di dalamnya,” tegas Rudi.
Rudi berharap, pemerintah daerah tidak tinggal diam mengingat potensi konflik yang bisa muncul di tengah masyarakat jika tidak ada langkah antisipatif.
“Bukan cuma soal perusahaan pemilik HGU. Di dalam kawasan itu juga ada masyarakat yang beraktivitas. Kalau tiba-tiba dilarang berkebun, mereka pasti keberatan,” tandasnya. (adv/vid/jun)