Tahun 2019 silam, publik Indonesia dihebohkan dengan argumentasi Rocky Gerung yang oleh sebagian pihak dinilai menghina agama. Ia mengaitkan kitab suci dengan fiksi. Beberapa golongan tak ingin dua hal itu dipaksakan agar bersifat relasional. Bahkan, bila pernyataan itu hanya sebuah pengandaian logis.
Alhasil, Rocky dipolisikan. Namun, ia mampu keluar dari masalah itu, setelah berhasil mempertanggungjawabkan pernyataannya. Dengan ketepatan logika dan argumentasi yang utuh, penentangnya mudah dikalahkan. Rocky keluar, setidaknya sebagai pemenang logika.
Pernyataan kontroversial Rocky yang melabrak sensitivitas keagamaan ini, lalu memancing beberapa pegiat filsafat dan budayawan Indonesia untuk mengadakan diskusi. Tajuk diskusi itu yakni “Menolak Pemiskinan dan Pembusukan Filsafat di Ruang Publik.”
Diskusi itu, tentu bukan hanya berupaya mengembalikan filsafat pada tempatnya. Melainkan juga memikirkan kembali bagaimana keterlibatan seorang filosof atau filsuf di ruang publik. Sebab, seorang filsuf dalam kacamata umum sudah dipandang sebagai seorang intelektual.
Kini, seperti mengulang kembali kenangan silam, sosok kontroversial ini kembali dipolisikan oleh relawan Jokowi. Pasalnya, ia dinilai menebarkan ujaran kebencian, kata-kata penghinaan, dan makian kepada Jokowi, Presiden RI. Pertanyaannya, apakah Rocky dapat dibenarkan dalam persoalan ini? Lebih dari itu apakah ia telah tampil sebagai sosok intelektual yang telah menjalankan tugasnya dengan baik?
Terhadap dua pertanyaan itu, dalam tulisan ini, walaupun menyinggung juga problem itu, penulis hendak melihat lebih jauh peran seorang intelektual di hadapan publik, terutama dalam menggunakan haknya, “hak berbicara yang sama di depan umum” (Isonomia). Hal ini penting, mengingat kritik seorang intelektual di hadapan publik bisa saja kebablasan. Berikutnya, dinilai sebagai penghinaan.
Intelektual
Secara harafiah, intelektual berasal dari kata kerja Bahasa Latin, intellego (dari kata inter dan lego) yang berarti mengetahui, mengerti atau memahami. Dalam konteks itu, intelektual lalu diartikan sebagai seorang yang mengetahui dan memahami banyak hal dengan akal budi atau kemampuan rasionya.
Di Yunani, kata intelektual itu, barangkali dapat disematkan pada dua kelompok yang dinilai memiliki pengetahuan yang mumpuni. Dua kelompok itu yakni kelompok para sophis dan kelompok para filsuf. Meskipun dari segi pengetahuan, dua kelompok ini mencukupi, keduanya tetap tidak setara.
Kaum sophis adalah para guru yang boleh dikatakan memiliki watak seorang pembual. Dengan kemampuan retorikanya, ia pandai membujuk dan menghasut orang-orang, terutama anak-anak muda untuk percaya dan mengikuti mereka. Walaupun hal yang disampaikannya keliru, tidak mendidik, dan memaksa orang untuk berpikir secara baik dan benar.
Tujuan kaum sophis itu, tentu tak lain tak bukan hanya untuk kepentingan pribadinya. Ada pragmatisme yang disembunyikan dalam balutan bahasa yang indah. Ada peluang memperoleh kuasa pengakuan dan imbalan material dari setiap orasinya. Gambaran para sophis itu, pada abad modern ini, lebih kurang terejawantah dalam diri para politisi yang lebih banyak menebar janji tanpa bukti pembangunan yang berarti.
Berbeda dengan kaum sophis, para filsuf dengan pengetahuannya, dipandang selalu menyampaikan kebenaran. Kata Socrates, filsuf ternama dari Yunani, “seorang filsuf adalah orang yang selalu berjuang untuk membebaskan diri dari ikatan atau ketundukan pada kesenangan ragawi. Ia mencari kebenaran, keindahan, dan kebaikan mutlak.”
Hari ini, di Indonesia, berkeliaran juga dua kelompok pemikir ini dalam ruang demokrasi. Ada yang lebih condong memperjuangkan pemikirannya untuk memperkaya diri dan golongannya. Sedangkan yang lain, berjuang menggunakan berbagai fungsi berpikirnya demi kemajuan pembangunan bangsa.
Rocky Gerung, salah satu intelektual dan pemikir itu. Menurut hemat penulis, kehadirannya di Indonesia dari kampus ternama UI merupakan berkah bagi demokrasi Indonesia. Pasalnya, sejak pertama kali dikenal luas oleh publik melalui acara Indonesian Lawyers Club (ILC), ia lebih kurang telah menyentak kesadaran publik untuk menggunakan pengetahuan dan logika secara baik.
Tak ayal, kosa-kata baru dan alternatif berpikir lain coba dihadirkan untuk mengupas tuntas berbagai gejala, fenomena, dan persoalan bangsa. Pemikirannya cenderung menggugat, serentak memancing lawan diskusi untuk mengeluarkan semua kemampuan berpikir yang dimilikinya. Demi tujuan mulia pembangunan bangsa.
Alhasil, pihak yang berpihak pada Rocky mengelu-elukan dirinya sebagai “profesor logika.” Meskipun hanya lulusan S1, mereka tak terlalu mempersoalkan itu. Sebab seperti katanya, “ijazah hanyalah tanda kita pernah bersekolah. Bukan pernah berpikir.” Makanya, pemikirannya banyak dinanti oleh pemujanya. Namun, dijadikan bahan cercaan dan hinaan bagi para lawannya.
“No Rocky, No Party,” menjadi adagium penting lainnya yang tidak bisa dilepaskan dari intelektual yang satu ini. Pernyataan itu sering muncul dalam acara-acara televisi. Bahkan pernah menjadi tema diskusi bersama Rocky. Entah kemudian hal itu bernada pujian, atau berbasis ejekan, Rocky telah menunjukkan popularitas intelektualnya. Ia patut diperhitungkan.
Kendati demikian, terdapat lebih kurang dua catatan yang menurut penulis, patut untuk direnungkan secara bersama. Tentu bukan dalam rangka hanya membuat penilaian semata terhadap Rocky Gerung. Melainkan juga untuk melihat dan memahami secara lebih utuh semua pemikir, yang dewasa ini menyebut diri atau dikenal publik sebagai seorang intelektual.
Pertama, seorang intelektual tidak pernah dilepas-pisahkan dari pembicaraan tentang kebenaran. Terkait hal ini, seorang filsuf Perancis, bernama Michel Foucault, mengingatkan betapa pentingnya kebenaran itu, lewat istilahnya “parrhesia” (mengatakan kebenaran).
Bagi Foucault, perihal mengatakan kebenaran, mesti hidup dalam diri setiap orang. Sebab, kebenaran merupakan keutamaan manusiawi yang tidak boleh diabaikan. Meskipun sukar bagi setiap orang untuk mengatakannya, kebenaran harus mampu dikedepankan daripada kebohongan-kebohongan. Memang sukar dan terasa menyakitkan dalam memperjuangkan kebenaran, tapi hal itu harus diprioritaskan.
Dua kebenaran lebih kurang, tampak di sini. Kebenaran etis dan epistemologis. Kebenaran etis lebih pada soal cara hidup yang ditunjukkan melalui sikap dan tutur kata. Sedangkan kebenaran epistemologis lebih pada kesatuan antara apa yang dipikirkan dan apa yang benar-benar terjadi. Singkatnya, kebenaran etis berkutat soal nilai. Kebenaran epistemis, merujuk pada fakta.
Pada titik ini, seorang intelektual, dipaksa untuk menjadi pribadi yang baik dan benar. Secara etis, ia dilarang untuk mengutarakan kebencian, kata-kata makian dan penghinaan. Sedangkan secara epistemis, ia seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “harus adil sejak dalam pemikiran.” Ia harus menyampaikan isi pemikirannya menggunakan data-data faktual, kenyataan empiris, dan bukti-bukti yang valid.
Kedua, kebenaran yang disampaikan oleh bahasa tetap perlu mengedepankan fungsi dan nilai bahasa. Apalagi bahasa itu disampaikan di hadapan publik. Tentang hal ini, seorang filsuf lain dari Austria bernama Ludwig Wittgenstein menyoal kompleksitasnya persoalan bahasa dalam teorinya tentang “language games” (permainan bahasa).
Permainan bahasa dalam rumusan teori Wittgenstein hendak menunjukkan bahwa setiap orang dari berbagai golongan, suku, budaya, agama, tingkat profesi, status sosial, dan sub kultural lainnya, memiliki jenis bahasa dan pemahaman yang berbeda-beda atas bahasa itu. Sederhananya, bahasa atau istilah yang dipakai seorang lulusan filsafat berbeda dengan seorang lulusan teknik bangunan.
Dalam ruang demokrasi, perbedaan bahasa itu ditampung. Semua orang dari berbagai latar belakang membawa kemampuan bahasanya dari ruang dimana ia dibentuk. Menjadi soal, apabila bahasa yang dipakai tidak mampu dipahami satu sama lain. Konsekuensinya, komunikasi akan macet. Orang dapat berkelahi hanya karena sebuah kata “fiksi” yang dipakai lulusan filsafat berbeda dengan “fiksi” yang dipahami seorang yang saleh dalam menjaga iman dan keyakinan keagamaannya.
Karena itu, perbedaan bahasa tersebut hanya dapat dipahami, dimengerti dan diterima dengan baik apabila dibangun dalam sebuah komunikasi yang sehat, terbebas dari kepentingan untuk memanipulasi, atau menjatuhkan yang lain. Pada titik ini, barangkali terdapat perbedaan antara bahasa yang bersifat kritis dan bahasa yang bernada makian.
Dua poin itu, menurut penulis, kiranya menjadi dasar untuk menilai, bahwa tuntutan menjadi seorang intelektual bukanlah tuntutan yang mudah. Ia dipaksa setiap waktu untuk selalu hidup serta menimba dan membagikan pengetahuan dan buah pemikirannya demi kepentingan bersama. Namun, pada titik tertentu senjata bahasa yang dipakainya, bisa menghasilkan peluru yang sangat melukai pihak lain. Entah bernada kritik, atau berbau penghinaan.
Terkait dua poin yang disinggung di atas, menurut penulis, sebenarnya tidak terlepas dari kompleksitasnya pembicaraan tentang hak berbicara dan menyampaikan pendapat dalam ruang demokrasi. Pasalnya, pasca reformasi hak berbicara di muka umum bisa jadi sangat kebablasan. Rocky Gerung, sebagai anak yang lahir dalam ruang itu, barangkali juga ikut kebablasan akibat tak didukung oleh sistem demokrasi itu sendiri.
Kebablasan Isonomia
Bila kita melihat kembali sejarah, khususnya pada masa Orde Baru (Orba), sebenarnya terdapat dua hak asasi yang tidak sepenuhnya dimiliki masyarakat Indonesia. Dua hak asasi itu yakni, hak yang sama di hadapan hukum (isogoria) dan hak berbicara yang sama (Isonomia).
Pada masa Soeharto berkuasa, isonomia adalah hal yang tabu. Masyarakat dilarang menentang kekuasaan. Ancamannya nyata. Kematian! Para intelektual dilarang mengeritik. Konsekuensinya jelas. Diasingkan! Dihilangkan secara paksa! Karya-karya dan buku-buku kiri dilarang beredar. Hasilnya tegas. Dibredel! Dibakar!
Akhirnya, Isonomia zaman Soeharto adalah Isonomia tanpa mulut. Sebab, masyarakat wajib tutup mulut terhadap segala kebijakan Soeharto. Namun, justru inilah yang menjadi soal. Kekuasaan otoriter Soeharto, tak terlepas dari kondisi yang mungkin diciptakan oleh masyarakat, terutama dalam menggunakan hak bersuaranya untuk melawan rezim.
Tentang hal itu, Hardiman, seorang penulis dan pemikir Indonesia yang melahirkan banyak buku filsafat, menjelaskan secara tepat. “Tanpa ada hak bersuara dan menyampaikan pendapat, kekejaman rezim Orde Baru berdiri tegak tidak hanya sebagai produk murni kekuasaan otoriter Soeharto, tetapi juga dampak dari kepatuhan buta masyarakatnya (the condition of possibility).
Namun, seperti pemerintahan di negara otoriter lainnya, rezim Orba akhirnya tumbang. Hak bersuara mulai dikumandangkan secara berani, setidaknya oleh mahasiswa dan aktivis ’98. Dari sana, cahaya reformasi lalu muncul. Hak bersuara sebagai hak sipil dan politik warga lalu mendapat jaminan legalitasnya dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
Orang bebas menyampaikan ide dan gagasannya tanpa takut ditodong senjata. Orang tak lagi mengeluh soal ketimpangan pembangunan hanya sebatas di dalam ruangan tertutup. Bahkan bahasa kritik mulai memasuki ruang publik tanpa lagi “malu-malu kucing”, baik melalui media masa, dunia virtual, acara televisi, dan sebagainya. Tak ada lagi ketakutan yang benar-benar lagi separah masa Orba dulu.
Namun, lagi-lagi reformasi juga menyimpan segudang kelemahan. Munculnya netizen alay di media sosial yang memamerkan foto dirinya dengan komentar tak sedap, meninggalkan problem tersendiri. Belum lagi kekerasan verbal antara tim pendukung politisi yang satu dan politisi yang lain juga membawa petaka tertentu.
Pada masa Jokowi misalnya, Rocky Gerung hadir sebagai pengkritik dan oposan pemerintahan. Ia menggunakan hak bersuara dan kebebasan berpendapatnya untuk mengkritik sejumlah agenda pembangunan yang dicanangkan pemerintahan Jokowi. Dengan kemampuan berpikirnya yang dibarengi fakta dan data, ia sungguh menyadari bahwa sebuah peradaban hanya tumbuh dari perbenturan antara ide atau pikiran.
Seperti katanya, “pikiran hanya disebut pikiran apabila dibenturkan. Pikiran yang disopan-santunkan bukan lagi pikiran, melainkan kemunafikan.” Pernyataannya ini, jelas menunjukkan bahwa peradaban sebuah bangsa hanya tumbuh dari pemikiran yang baik, terarah, dan terukur. Segala keutamaan berpikir itu jelas mendapat corongnya yang kuat dalam sebuah kritik.
Berdasar pada pernyataan itu, Rocky barangkali menganggap pernyataan yang disampaikannya kepada Jokowi hanya merupakan sebuah kritik. Namun, tidak untuk pihak lain. Terkait hal ini, Jokowi sebagai presiden tak terusik. Tapi relawan yang “berisik.” Barangkali Rocky telah dinilai telah kebablasan dalam menyampaikan pendapatnya. Apalagi, jika itu dibumbui lagi dengan kata “dungu” yang selalu disampaikannya pada berbagai kesempatan. Bisa jadi, pandangannya kini bukan lagi merupakan kritik, melainkan lebih pada sebuah penghinaan.
Namun, sekali lagi, persoalan yang tengah dihadapi oleh Rocky Gerung tak terlepas dari sistem demokrasi pasca reformasi yang turut dilemahkan oleh berbagai rupa kepentingan. Bisa jadi Rocky tak bermaksud menghina presiden. Namun, sistem dalam demokrasi itu sendiri telah memaksanya untuk jatuh dalam pasal penghinaan. Mungkin, saat cuplikan videonya itu tayang di media sosial, kebablasan sudah mulai muncul dari sana.
Pada titik ini, kebablasan Isonomia dalam ruang demokrasi pasca reformasi memanggil semua pihak untuk mulai memikirkan kembali cara menggunakan hak bersuara dan menyampaikan pendapatnya secara baik dan benar di hadapan publik. Poinnya, penyampaian pendapat baik secara lisan, tulisan, maupun audiovisual harus tetap juga memikirkan sensitivitas publik. Apalagi jika bertujuan membangun kemaslahatan bersama.(*)